Labuhanbatu Selatan, bintangharian.com – Arogansi dan kekerasan terhadap jurnalis kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, seorang jurnalis stringer TV One, H. Hasibuan, menjadi korban intimidasi dan penyerangan saat meliput kasus memilukan yang menimpa IM (14), seorang siswa MTs di Kabupaten Labuhanbatu Selatan yang terpaksa berhenti sekolah karena tak mampu membayar biaya rekreasi sebesar Rp350 ribu.
Insiden terjadi Rabu (23/7/2025) di sebuah rumah makan di Jalinsum Langgapayung–Gunung Tua, saat H. Hasibuan tengah meliput kunjungan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Labusel terhadap IM. Dalam proses peliputan tersebut, hadir pula oknum Ketua Yayasan tempat IM bersekolah, berinisial S.DSP, yang langsung memicu ketegangan.
Menurut H. Hasibuan, ketegangan bermula saat Ketua KPAD, Ilham Daulay, mendapati IM tengah bersama S.DSP. Terjadi perdebatan panas yang disaksikan para awak media. Dalam situasi yang memanas, S.DSP menyalahkan media atas viralnya kasus tersebut. Pernyataan itu memancing protes dari para wartawan.
Tak terima dikonfirmasi, S.DSP yang didampingi anaknya, meninggalkan lokasi dengan nada tinggi. Ia bahkan menyebut memiliki kedekatan dengan “orang nomor satu di Labusel”, pernyataan yang justru membuat jurnalis semakin ingin mengklarifikasi ucapannya.
Namun situasi kian memanas saat di halaman belakang rumah makan, S.DSP tiba-tiba menyerang H. Hasibuan yang sedang merekam pernyataannya. “Dia langsung menarik lengan baju saya sambil berteriak-teriak. Baju saya sampai robek,” ungkap Hasibuan.
Insiden itu berhasil diredam oleh rekan-rekan jurnalis lainnya yang segera memisahkan keduanya dan meminta S.DSP segera meninggalkan lokasi untuk menghindari keributan lebih lanjut. Namun, kemarahan S.DSP tak berhenti di situ. Ia kemudian mengirimkan pesan WhatsApp ke H. Hasibuan dengan ancaman keras: “Jangan coba-coba kau memposting kami di sosmed, karena aku tak ijin dunia akhirat.”
Merasa terintimidasi dan profesinya sebagai jurnalis dilecehkan, H. Hasibuan menegaskan akan membawa kasus ini ke ranah hukum. “Saya akan melaporkan tindakan ini ke Polres Labuhanbatu Selatan. Ini bentuk pelanggaran serius terhadap kebebasan pers,” tegasnya.
Dilindungi UU Pers, Kekerasan terhadap Wartawan Bisa Dipenjara 2 Tahun
Langkah H. Hasibuan mendapat dukungan dari berbagai pihak. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas melindungi hak jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistik. Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa siapa pun yang secara melawan hukum menghalangi kerja pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
Advokat M. Taufik Umar Dani Harahap, Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut, turut menyoroti kasus ini. Ia menyebut bahwa selain UU Pers, pelaku juga bisa dijerat pasal KUHP, seperti Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan dan Pasal 170 jika disertai kekerasan.
“Ini bukan hanya soal kebebasan pers, tapi juga menyangkut penegakan hukum dan konstitusi. Dalam putusan MA No. 1608 K/Pid/2005, kekerasan terhadap jurnalis saat peliputan dinyatakan sebagai pelanggaran hukum pidana dan hak konstitusional,” ujarnya.
Taufik menegaskan, proses hukum atas laporan ini harus berjalan transparan dan objektif, tanpa intervensi dari pihak mana pun, termasuk dari lembaga yayasan yang terlibat.
Momentum Bongkar Tabir Yayasan yang Tertutup
Lebih jauh, Taufik menilai insiden ini menjadi pintu masuk untuk menginvestigasi lebih dalam praktik internal Yayasan DM, yang selama ini dinilai tertutup dan luput dari pengawasan publik. Ia menyebut, media bukan hanya pelapor, tetapi pilar demokrasi yang harus dilindungi.
“Kekerasan terhadap jurnalis adalah serangan terhadap hak masyarakat untuk tahu. Negara harus hadir menjamin keamanan dan kebebasan pers,” ujarnya tegas.
Kasus ini pun menjadi peringatan keras bahwa intimidasi terhadap jurnalis tidak bisa ditoleransi. Pers bukan musuh, melainkan jembatan informasi publik. Keberanian jurnalis dalam membongkar ketidakadilan harus diimbangi dengan komitmen hukum untuk melindungi mereka.