Berita  

Dugaan Rekayasa Realisasi Proyek di Dinas PU-TR Labusel: PPK, Pengawas, dan PHO Terlibat?

Labuhanbatu Selatan (Labusel) Terdapat dugaan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), pengawas, dan Panitia Hasil Pekerjaan (PHO) Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PU-TR) Kabupaten Labuhanbatu Selatan telah melakukan manipulasi dokumen proyek agar dapat mencairkan dana proyek dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2023.

Berdasarkan investigasi dan konfirmasi dari berbagai pihak, ditemukan bahwa sejumlah proyek Dinas PU-TR yang seharusnya selesai paling lambat 31 Desember 2023 ternyata belum selesai hingga akhir tahun. Meskipun demikian, realisasi keuangan untuk proyek-proyek tersebut telah dibayarkan seratus persen. Beberapa proyek yang masih dalam tahap pengerjaan pada awal 2024 antara lain pembangunan paret beton, pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), jembatan rambin, dan beberapa proyek pengaspalan.

Kasus ini terungkap ketika seorang jurnalis dari media ini bersama salah satu pimpinan media online mengonfirmasi kepada Sagiono, bendahara Dinas PU-TR, pada Mei 2024 lalu. Sagiono menjelaskan bahwa pencairan dana tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab PPK. “Usulan pencairan dari rekanan harus disertai pernyataan bahwa proyek telah selesai, sesuai dengan dokumen yang ditandatangani oleh PPK dan pengawas, serta PHO sebagai penerima hasil kerja. Setelah itu, kami baru menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) untuk Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D),” jelasnya.

Menanggapi hal ini, Candra Mawansyah Siregar, Ketua Ikatan Wartawan Online Labusel, menyayangkan tindakan tersebut. “Kami sangat menyayangkan tindakan PPK dan jajarannya. Jika proyek belum rampung seratus persen, seharusnya pembayaran penuh tidak dilakukan. Sesuai SOP, jika pekerjaan belum selesai dalam masa kontraknya, perlu dilakukan adendum. Namun, yang perlu dipertanyakan adalah mengapa pekerjaan tersebut belum selesai padahal konsultan telah memperkirakan waktu pengerjaannya.

“Jika pekerjaan tidak selesai karena unsur kesengajaan atau kelalaian, hal ini perlu dilaporkan ke Inspektorat atau bahkan Aparat Penegak Hukum (APH), agar rekanan dapat mempertanggungjawabkan pekerjaannya dan alasan keterlambatan proyek tersebut. Denda keterlambatan sebesar 1/1.000 dari nilai kontrak sesuai dengan Pasal 79 ayat 4 Perpres 16 Tahun 2018, yang diubah dengan Perpres 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa,” tambahnya.

Kasus ini kini menjadi sorotan publik dan menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan profesionalisme para pejabat terkait dalam mengelola dana publik. Masyarakat berharap adanya tindakan tegas dari pihak berwenang untuk menindaklanjuti dugaan kecurangan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *