Berita  

Dana Desa dan Kejahatan Terstruktur di Labusel: Menyingkap Luka yang Tersembunyi di Tingkat Akar

Oleh: Habiburrahman – Aktivis Rakyat, Mantan Aktivis HMI Cab. Labuhanbatu

Labuhanbatu Selatan, bintangharian.com – Di tengah geliat pembangunan dan semangat membangun desa dari pinggiran, Kabupaten Labuhanbatu Selatan (Labusel), Provinsi Sumatera Utara, justru dihadapkan pada persoalan serius: korupsi Dana Desa yang diduga terstruktur dan berlangsung lama tanpa pengawasan memadai.

Sejak Dana Desa digelontorkan dari APBN mulai 2015, daerah ini telah mengelola triliunan rupiah. Pada tahun anggaran 2025 saja, 52 desa di Labusel menerima total Rp 59,9 miliar, atau rata-rata lebih dari Rp 1,1 miliar per desa. Sayangnya, besarnya anggaran tidak selalu berbanding lurus dengan kemajuan. Justru, yang mencuat adalah dugaan laporan fiktif, SPJ palsu, dan praktik mark-up yang merusak kepercayaan publik.

Penangkapan dua mantan Penjabat Kepala Desa—dari Desa Rasau dan Desa Suka Dame—menjadi titik terang yang menyibak gelapnya pengelolaan Dana Desa. Namun, menurut Ikatan Wartawan Online (IWO) Labusel, kasus ini bukanlah akhir, melainkan “puncak gunung es” dari persoalan yang lebih dalam dan sistemik.

Desentralisasi Anggaran, Desentralisasi Korupsi?

Dana Desa sejatinya menjadi alat revolusioner pembangunan berbasis lokal. Tapi dalam praktiknya, ketika anggaran besar tidak dibarengi pengawasan yang transparan, desa justru berubah menjadi ladang subur praktik manipulatif.

“Korupsi bukan soal besar kecilnya uang, tapi soal rusaknya moral,” ujar Abdullah Hehamahua, mantan Penasihat KPK, yang relevan untuk menggambarkan situasi ini. Jika praktik laporan fiktif dianggap biasa, maka ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi gejala penyakit akut: toleransi terhadap korupsi kecil yang menghancurkan dari dalam.

Yang lebih memprihatinkan, aparat penegak hukum dinilai masih pasif. IWO Labusel bahkan menuding Kejaksaan Negeri dan Polres belum sepenuhnya transparan terkait perkembangan kasus ini. Publik pun mendesak adanya konferensi pers terbuka untuk menjelaskan secara gamblang potensi penyimpangan di 52 desa.

Hak Rakyat Tahu: Transparansi Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban

Tuntutan untuk membuka data bukanlah bentuk intervensi terhadap penegak hukum, tapi wujud pelaksanaan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dana desa adalah uang rakyat, dan rakyat berhak tahu ke mana uang itu dibelanjakan.

Dengan anggaran hampir Rp 60 miliar pada tahun ini saja, potensi penyalahgunaan bisa sangat besar jika tak diawasi. Maka tuntutan transparansi bukan hanya sah, tapi merupakan bagian dari menjaga amanah konstitusi.

Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan Korupsi bahkan mengamanatkan partisipasi publik sebagai elemen utama. Sayangnya, publik kerap baru tahu saat sudah terjadi penangkapan—bukan saat pencegahan masih bisa dilakukan.

Korupsi Desa: Luka yang Diam-diam Menjadi Borok Nasional

Labusel bukan satu-satunya. Sejak 2015, lebih dari 900 kepala desa di Indonesia tersandung kasus korupsi Dana Desa (data ICW 2024). Ini membuktikan korupsi di desa adalah pola, bukan insiden. Desa, yang seharusnya jadi benteng terakhir kejujuran, kini jadi ruang gelap bagi praktik curang.

Anggaran besar tanpa digitalisasi transparan dan kontrol masyarakat justru menciptakan celah. Di Labusel, dengan Rp 59,9 miliar yang mengalir ke desa, tanpa sistem transparan, itu bagaikan bara dalam sekam: tampak tenang, tapi membakar dari dalam.

“Kita tidak boleh menyebut korupsi kecil. Di desa, satu rupiah bisa menentukan masa depan banyak orang,” tambah Hehamahua.

Bukan Saatnya Menutupi, Tapi Membongkar

Audit forensik menyeluruh adalah keharusan. Hal ini selaras dengan pemikiran Prof. Moenaf H. Regar, yang menyebut akuntansi bukan sekadar mencatat, tapi alat mengungkap kebohongan sistemik. Dengan risk-based audit, potensi manipulasi bisa dideteksi, bukan sekadar ditebak.

Kejaksaan Negeri Labusel juga harus bergerak proaktif. Jangan hanya menunggu viral, baru bergerak. Ini saatnya membentuk tim lintas kecamatan untuk memetakan pola dugaan korupsi Dana Desa dari tahun ke tahun. Mereka yang terlibat—baik kepala desa, perangkat, maupun pihak ketiga—harus dimintai pertanggungjawaban.

Membangun dari Pinggiran, Bukan Membohongi dari Akar

Dana Desa adalah darah pembangunan. Jika darah itu tercemar, maka yang rusak bukan hanya jalan dan jembatan, tapi masa depan demokrasi lokal. Pemerintah pusat boleh punya niat baik, tapi jika penegak hukum di daerah diam, maka rakyat hanya akan jadi korban dari sistem yang permisif.

Labusel butuh keberanian, bukan basa-basi. Warga butuh pembangunan yang jujur, bukan pencitraan. Dan negara, seharusnya hadir bukan sebagai penonton, tapi pelindung rakyat di tingkat paling bawah.

Sudah saatnya kita berhenti menutupi, dan mulai membongkar. Demi desa yang benar-benar membangun, bukan pura-pura membangun.

Writer: R.A. Silaban Editor: Jamal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *