Kotapinang, bintangharian.com – Hanya berselang sehari setelah desakan keras dari Ikatan Wartawan Online (IWO) Labuhanbatu Selatan yang menyoroti dugaan korupsi Dana Desa di 52 desa, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Labusel, Bayu Setyo Pratomo, tiba-tiba dimutasi ke Nusa Tenggara Timur. Publik pun bertanya-tanya, mutasi ini murni rotasi jabatan atau bentuk pengalihan isu?
Pernyataan pedas itu datang dari Sekretaris PD IWO Labusel, Habiburohman, dalam pernyataannya Sabtu (5/7) di Sekretariat IWO di Jalan Perjuangan. Ia menantang keberanian aparat penegak hukum untuk membuka secara terang-benderang proses penanganan dugaan penyelewengan Dana Desa.
“Kita hanya meminta, beranikah Kejaksaan dan Kepolisian transparan atas apa yang selama ini ditutup-tutupi oleh para kepala desa,” ujarnya lantang.
Tak sampai 24 jam, publik dikejutkan dengan kabar bahwa Bayu Setyo Pratomo dimutasi menjadi Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) di Kejati NTT. Waktu yang berdekatan ini memunculkan spekulasi liar—apakah desakan publik dan media menjadi pemicu rotasi ini?
Spekulasi makin liar ketika dua mantan Kepala Desa, masing-masing dari Desa Rasau dan Suka Dame, ditangkap karena diduga terlibat korupsi Dana Desa. Satu di antaranya bahkan sempat buron dan baru-baru ini menyerahkan diri.
Masyarakat pun mulai mengaitkan mutasi Kajari dengan rangkaian peristiwa tersebut. Tak sedikit yang menilai, ini bisa jadi bentuk ‘pengamanan posisi’ di tengah badai kritik dan sorotan media.
Namun, saat dikonfirmasi Senin (6/7), Kasi Intel Kejari Labusel, Oloan Sinaga, menyebut mutasi Bayu adalah hal yang wajar dan bagian dari promosi jabatan dalam tubuh Kejaksaan.
“Mutasi ini merupakan promosi, bagian dari rotasi dan penyegaran di internal kejaksaan. Tidak ada kaitannya dengan pemberitaan media,” kata Oloan.
Meski demikian, publik merasa alasan itu terlalu normatif. Momentum mutasi yang berdekatan dengan desakan IWO dan penangkapan dua kepala desa menimbulkan pertanyaan besar. Terlalu tepat waktu untuk disebut kebetulan.
Sebelumnya, IWO Labusel mendesak Kejaksaan dan Kepolisian membuka secara transparan data dan proses hukum dugaan korupsi ADD di 52 desa. Mereka menyoroti betapa banyak laporan masyarakat yang tak kunjung ditindaklanjuti secara terang.
Kini publik menanti: apakah aparat penegak hukum akan benar-benar berani membongkar praktik kotor di desa-desa, atau justru memilih menghindar dengan berpindah tempat?